Selasa, 29 Juli 2008

Taib Armain dan Abdul Ghafur, Berkonsiliasilah !

Sebetulnya konflik pilkada di provinsi Maluku Utara tidak mungkin terjadi, jika para elit politik di Maluku Utara membuat pernyataan berupa himbauan di media setempat atau kalau perlu di media nasional agar para pendukungnya tidak bentrok. Saya sebagai salah seorang warga Maluku Utara yang saat ini berada di daerah perantauan melihat dan menyimpulkan, bahwa konflik horizontal di Maluku Utara, khususnya di Ternate adalah para elit politik, khususnya calon-calon gubernur, Taib Armain dan Abdul Ghafur terkesan membiarkan pendukungnya masing-masing untuk melakukan aksi-aksi anarkis. sebab kedua-duanya berupaya untuk menggoalkan dirinya masing-masing agar menjadi orang nomor 1 di Maluku Utara. Padahal, di televisi beberapa bulan yang lalu saya telah menyaksikan kedua-keduanya menyatakan siap untuk kalah dan menerima apapun keputusan Pemerintah Pusat. Artinya, baik Taib maupun Ghafur sebenarnya tidak perlu kasak kusuk dan berkomentar macam-macam di media, yang mohon mohon maaf, terkesan mempengaruhi Pemerintah Pusat dalam pengambilan keputusan. Cobalah berbicara dengan hati nurani, terutama Bang Ghafur, Anda pernah lama menjabat menteri di era Orde Baru. Apakah selama menjabat di era Soeharto belum cukup puas bagi Anda menikmati "kue" ORBA, sehingga masih mau berebut "kue" yang kecil di Maluku Utara? Bagi Taib, apakah belum cukup puas selama menjadi birokrat dan pernah menjadi gubernur? Kalau Anda berdua masih belum cukup puas, berarti Anda berdua tidak punya hati nurani. Oleh karena itu, alangkah baiknya Anda berdua pada saat ini membuat himbauan. Kalau perlu Anda berdua bergandengan tangan dan jalan kaki bersama mengelilingi kota Ternate bahwa Anda berdua tidak berkonflik, sehingga pendukung-pendukung Anda akan melakukan hal yang sama. Apa artinya semboyan "marimoi ngone futuru" jika cuma pilkada saja kita sudah bercerai berai? Renungkanlah wahai orang tuaku semua, dan tak lupa bagi saudara-saudaraku warga Maluku Utara, perlihatkanlah ke masyarakat dan rakyat provinsi lain, bahwa Maluku Utara, meskipun banyak anak-anak suku, tetapi tetap bersaudara.


M. Abduh A. Ramly

Garut - Jawa Barat

Hukuman Mati, Mengapa Harus Takut

HUKUMAN MATI, MENGAPA HARUS TAKUT?
Oleh Mohd. Abduh A. Ramly (Praktisi Hukum)

Pada malam Kamis (23 Juli 2008), dalam waktu yang bersamaan dua televisi nasional menyiarkan debat atau dialog yang bertemakan “hukuman mati di Indonesia”. TV1 yang meramu siarannya dengan cara perdebatan, sehingga seakan-akan pemirsa atau penonton televise, termasuk saya berkesimpulan “itu hanya debat kusir”, sementara di Metro TV lebih elegan dengan meramu pembicaran tersebut dengan dialogis. Penulis berpendapat sah-sah saja dalam era keterbukaan yang baru dinikmati oleh msyarakat Indonesia, setiap orang bebas mengeluarkan pendapat atau buah pikirannya, apalagi mereka yang mengaku mengantongi segudang ilmu, tentu akan lebih percaya diri (pede) lagi mengemukakan argumentrasi-argumentasi mereka di hadapan publik. Penulis tidak terlalu tertarik dengan issue-issue pro kontra tentang hukuman mati, karena yang ada di benak penulis, hukuman mati itu adalah suatu ketentuan hukum sudah ada dalam kitab pegangan penulis sebagai seorang muslim. Artinya suka atau tidak suka, hukuman mati itu harus dijalankan dan diterapkan bagi mereka yang “sangat pantas menerima hukam mati” yang diakibatkan atas perbuatan mereka sendiri.

Alasan Klasik.
Hukuman mati, memang banyak ditentang oleh negara-negara yang nota bene “mengaku” menerapkan sistem demokrasi yang moderen, karena mereka beralasan hukuman mati bertentangan hak asasi manusia (HAM). Sependapat dengan itu, di antara para pakar atau mungkin mengaku sebagai pembela HAM yang ada di Indonesia pun mengiyakan atau menyetujuinya. Sebab jika Indonesia tetap melaksanakan hukuman mati, maka nantinya Indonesia dianggap sebagai negara pelanggar HAM, karena melaksanakan hukuman, seakan-akan ajal seseorang ditentukan oleh negara (hukum). Memang menggelitik cara berpikir seperti ini, sebab hukuman mati bukan ditujukan kepada mereka yang tidak bersalah, tetapi pada hakekatnya ditujukan kepada mereka yang berbuat salah (pidana) yang menurut hukum telah sedemikian rupa melakukan pelanggaran tindak pidana yang hukumanya adalah hukuman mati, misalnya pembunuhan dengan sengaja dan berencana, bahkan melakukannya dengan sadis. Itupun melalui suatu proses pengadilan yang ekstra hati-hati, agar jangan sampai seorang hakim keliru dalam menjatuhkan putusannya, sehingga dalam hal ini diperlukan unsur “keyakinan hakim”. Di sisi lain, cara berpikir seperti ini seolah-olah memberi perlindungan kepada mereka yang melanggar HAM, sehingga seakan-akan pula seseorang yang melakukan pembunuhan, tidak dikategorikan sebagai pelanggar HAM. Sementera, penegakan hukum dengan maksud untuk melindungi warga masyarakat dianggap sebagai melanggar HAM. Cara berpikir atau pendapat seperti ini menurut penulis berada di luar logika dan akal sehat dan alasan-alasan atau argumntasi yang dikemukakan adalah alasan atau argumnetasi klasik. Oleh karena itu, kita bangsa dan masyarakat Indonesia tidak perlu terpengaruh oleh pendapat para pakar hukum yang menentang penerapan hukuman mati. Penulis yakin jika pendapat ini dilontarkan oleh penganut muslim, maka cobalah introspeksi diri dan menyimak kembali pendapatnya, bertafakkur, lalu memohon hidayah kepada Allah SWT. karena Dialah yang memberikan hidayah kepada siapapun, asal kita mau memohon kepadaNya.

Hukuman Mati Tetap Harus Diterapkan.
Menerima atau menolak suatu pendapat dalam dunia demokrasi merupakan hak seseorang, namun unsur kehati-hatian dalam menerima dan menlak suatu pendapat adalah mutlak, khususnya bagi pakar hukum yang masih berjiwa Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang ada dalam msyarakat, sebab hukuman mati adalah bagian dari hukum Islam, dan nilai-nilai hukum Islam yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat Islam Indonesia telah membaur dan diterima oleh masyarakat non muslim sebagai suatu bentuk “keekaan”, sehingga perdebatan tentang hukuman mati sebetulnya tidak perlu. Mari kita terapkan hukuman mati, tetapi kita tidak perlu takut dengan hukuman mati itu, karena itu keharmonisan hidup harus tetap terpelihara dengan baik dengan menjalankan nilai-nilai agama, etika dan moral, artinya pula hukuman mati tidak mungkin kita jalani.. Jadi mengapa harus takut?

Hukuman Mati, Mengapa Harus Takut

HUKUMAN MATI, MENGAPA HARUS TAKUT?
Oleh Mohd. Abduh A. Ramly (Praktisi Hukum)

Pada malam Kamis (23 Juli 2008), dalam waktu yang bersamaan dua televisi nasional menyiarkan debat atau dialog yang bertemakan “hukuman mati di Indonesia”. TV1 yang meramu siarannya dengan cara perdebatan, sehingga seakan-akan pemirsa atau penonton televise, termasuk saya berkesimpulan “itu hanya debat kusir”, sementara di Metro TV lebih elegan dengan meramu pembicaran tersebut dengan dialogis. Penulis berpendapat sah-sah saja dalam era keterbukaan yang baru dinikmati oleh msyarakat Indonesia, setiap orang bebas mengeluarkan pendapat atau buah pikirannya, apalagi mereka yang mengaku mengantongi segudang ilmu, tentu akan lebih percaya diri (pede) lagi mengemukakan argumentrasi-argumentasi mereka di hadapan publik. Penulis tidak terlalu tertarik dengan issue-issue pro kontra tentang hukuman mati, karena yang ada di benak penulis, hukuman mati itu adalah suatu ketentuan hukum sudah ada dalam kitab pegangan penulis sebagai seorang muslim. Artinya suka atau tidak suka, hukuman mati itu harus dijalankan dan diterapkan bagi mereka yang “sangat pantas menerima hukam mati” yang diakibatkan atas perbuatan mereka sendiri.

Alasan Klasik.
Hukuman mati, memang banyak ditentang oleh negara-negara yang nota bene “mengaku” menerapkan sistem demokrasi yang moderen, karena mereka beralasan hukuman mati bertentangan hak asasi manusia (HAM). Sependapat dengan itu, di antara para pakar atau mungkin mengaku sebagai pembela HAM yang ada di Indonesia pun mengiyakan atau menyetujuinya. Sebab jika Indonesia tetap melaksanakan hukuman mati, maka nantinya Indonesia dianggap sebagai negara pelanggar HAM, karena melaksanakan hukuman, seakan-akan ajal seseorang ditentukan oleh negara (hukum). Memang menggelitik cara berpikir seperti ini, sebab hukuman mati bukan ditujukan kepada mereka yang tidak bersalah, tetapi pada hakekatnya ditujukan kepada mereka yang berbuat salah (pidana) yang menurut hukum telah sedemikian rupa melakukan pelanggaran tindak pidana yang hukumanya adalah hukuman mati, misalnya pembunuhan dengan sengaja dan berencana, bahkan melakukannya dengan sadis. Itupun melalui suatu proses pengadilan yang ekstra hati-hati, agar jangan sampai seorang hakim keliru dalam menjatuhkan putusannya, sehingga dalam hal ini diperlukan unsur “keyakinan hakim”. Di sisi lain, cara berpikir seperti ini seolah-olah memberi perlindungan kepada mereka yang melanggar HAM, sehingga seakan-akan pula seseorang yang melakukan pembunuhan, tidak dikategorikan sebagai pelanggar HAM. Sementera, penegakan hukum dengan maksud untuk melindungi warga masyarakat dianggap sebagai melanggar HAM. Cara berpikir atau pendapat seperti ini menurut penulis berada di luar logika dan akal sehat dan alasan-alasan atau argumntasi yang dikemukakan adalah alasan atau argumnetasi klasik. Oleh karena itu, kita bangsa dan masyarakat Indonesia tidak perlu terpengaruh oleh pendapat para pakar hukum yang menentang penerapan hukuman mati. Penulis yakin jika pendapat ini dilontarkan oleh penganut muslim, maka cobalah introspeksi diri dan menyimak kembali pendapatnya, bertafakkur, lalu memohon hidayah kepada Allah SWT. karena Dialah yang memberikan hidayah kepada siapapun, asal kita mau memohon kepadaNya.

Hukuman Mati Tetap Harus Diterapkan.
Menerima atau menolak suatu pendapat dalam dunia demokrasi merupakan hak seseorang, namun unsur kehati-hatian dalam menerima dan menlak suatu pendapat adalah mutlak, khususnya bagi pakar hukum yang masih berjiwa Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang ada dalam msyarakat, sebab hukuman mati adalah bagian dari hukum Islam, dan nilai-nilai hukum Islam yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat Islam Indonesia telah membaur dan diterima oleh masyarakat non muslim sebagai suatu bentuk “keekaan”, sehingga perdebatan tentang hukuman mati sebetulnya tidak perlu. Mari kita terapkan hukuman mati, tetapi kita tidak perlu takut dengan hukuman mati itu, karena itu keharmonisan hidup harus tetap terpelihara dengan baik dengan menjalankan nilai-nilai agama, etika dan moral, artinya pula hukuman mati tidak mungkin kita jalani.. Jadi mengapa harus takut?

Jumat, 25 Juli 2008

Menelusuri Suku-suku dan Bahasa Di Maluku Utara

Maluku Utara merupakan salah satu provinsi, atau mungkin satu-satunya provinsi yang paling banyak suku bangsanya. Bahkakan dalam satu kecamatan bisa terdapat beberapa anak suku. Di pulau Makian misalnya, terdapat sekitar anak suku, misalnya desa Ngofagita dan Ngofakiaha, di lihat dari bahasa yang sama, sehingga dapat dikategorikan sebagai satu anak suku. Kemudian di desa Sabale dan sekitarnya yang mempunyai bahasa yang sama adalah satu anak suku, lalu di desa Samsuma dan sekitarnya yang juga mempunyai bahasa yang sama, sehingga dikategorikan sebagai satu anak suku. Demikian halnya di wilayah Halmahera Barat, seperti kecamatan Ibu Tengah, Ibu Utara dan Ibu Selatan terdiri atas 4 anak suku, yaitu suku ternate, suku gamkonora, suku tobaru dan suku wayoli. Bahasanya pun berbeda-beda, sesuai dengan sukunya masing-masing, yaitu bahasa ternate, bahasa gamkonora, bahasa tobaru dan bahasa wayoli. Belum lagi di daerah Halmahera Utara, Halmahera Timur dan Halmahera Selatan, masih terdapat anak-anak suku, seperti galela, tobelo, weda, patani, bacan, dll, sampai di daerah Kepulauan Sula yang terdiri atas beberapa suku, antara lain sanana.

Oleh karena itu masyarakat Maluku Utara di dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia berdialek daerah dalam pergaulan sehari-harinya. Sehingga ketika orang di luar Maluku Utara yang berkunjung ke Maluku Utara, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan bahasa pergaulan sehari-hari. Hal ini sangat berbeda jauh, ketika kita berada di daerah Jawa dan di tataran Sunda, karena di perkampungan, masyarakat menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda, sehingga bagi pendatang harus lebih lama lagi beradaptasi di dalam menggunakan bahasa pengaulan.

Sebagai salah seorang warga Maluku Utara, saya sangat berbangga akan keanekaragaman suku dan bahasa di Maluku Utara. Oleh karena itu, semoga Pemerintah dapat melestarikan kekayaan yang dianugerahkan oleh Allah SWT ini untuk dapat mewujudkan

म.अब्दुह.अ.रमली

गरुत - जावा barat